Tok-tok, permisi. Apakah hatimu sedang ada di tempatnya hari ini? Aku sudah menabung keberanian selama berhari-hari, khusus ingin mengunjunginya kali ini. Aku memang datang dengan tiba-tiba. Semoga kamu tak terlalu terkejut atau justru malu. Aku akan lega jika kamu malah menggelengkan kepala dan tertawa.
Jadi, apa tujuanku datang kali ini? Tidak banyak
— hanya ingin bercerita dari hati ke hati. Tentang bagaimana aku pertama kali mengenalmu, bagaimana aku akhirnya memperhatikanmu lebih, hingga bagaimana kamu menjadi nama yang terpikir di otakku hampir setiap waktu.
Aku juga datang dengan sebuah proposisi. Semoga saja, proposisi ini bisa kamu terima dengan tangan terbuka.
Sudah siap mendengar apa yang ingin aku katakan?
- Mungkin ‘cinta dalam pandangan pertama’ memang tidak ada. Toh, aku masih menganggapmu biasa saja saat awal kita berjumpa.
Perkenalan kita beberapa tahun silam sungguh tidak istimewa. Aku hanya mengenakan kaos hitam yang mulai pudar dengan celana jeans kedodoran untuk seorang wanita. Kaupun juga sama, hanya berbalut jeans yang sobek di beberapa bagian dengan kaos yang sepertinya lupa diseterika.
Kita bertemu di kantin kampus. Aku yang sedang sibuk dengan buku kegemaranku memang tidak mengangkat muka ketika kau meminta ijin bergabung untuk duduk bersama. Ternyata kau merupakan kawan lama dari kawanku yang juga duduk satu meja bersamaku. Kita berkenalan singkat, saling bertautan tangan sembari mengucapkan nama. Masih biasa saja, belum ada tanda apa-apa di sana.
Kau menengok sekilas pada sampul buku yang kubaca. Kemudian kau mengatakan bahwa dia adalah penulis genius dengan teori gilanya. Tulisannya mampu membuatmu tenggelam ke alam imajinasi. Aku menengok dan mendengar tuturanmu. Kau pun melanjutkan perkataanmu, melontarkan nama pengarang lainnya yang masih terdengar asing di telingaku. Menjanjikan akan meminjamkan koleksi bukumu padaku keesokan paginya. Aku mengiyakan, lebih tertarik pada koleksi buku itu daripada orang yang memilikinya sendiri.
- Perasaan itu tumbuh dengan perlahan. Tapi, bukankah cinta yang baik memang tak bisa dipaksakan?
Dari meminjam buku kita lanjutkan berdiskusi seru hingga siang berganti petang. Membuat kita lupa waktu dan tenggelam dalam duniaku dan duniamu. Ternyata obrolan kita tak sebatas pada buku, kita pun mulai membicarakan topik lainnya. Dari kegemaran, mimpi, film, hingga lagu.
Ah, rasanya tak cukup semalaman berbincang denganmu. Topik pembicaraan selalu saja ada. Namun, tak terasa jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan, tanda aku harus segera pulang sebelum terlalu malam. Entah mengapa senyum selalu menghiasi wajahku selama perjalanan hingga aku masuk kamar.
Esok harinya kita kembali bertemu. Bahkan, diskusi kita lanjutkan sembari menyantap makan malam di warung kaki lima. Dengan lampu pinggir jalan sebagai lampu sorotnya dan satu dua pengamen sebagai orkestranya, kita bagaikan tokoh dalam sebuah panggung drama. Sedang memainkan peran sebagai muda-mudi yang sedang dimabuk asmara.
- Padahal kamu bukan orang yang kukira akan bisa membuatku jatuh cinta. Namun, memang kenyamanan bisa mengalahkan “kriteria pria idaman” yang sebelumnya aku punya.
Dulu aku pernah bersumpah tidak ingin jatuh cinta setelah pernah terluka. Namun, kau berbeda. Kau menawarkan cinta dengan bungkus yang sederhana. Bagaimana aku bisa menolaknya?
Tak pernah sebelumnya aku merasakan cinta yang begitu memabukkan. Tak pernah kubayangkan juga hatiku akan tertambat pada pria sepertimu. Ah, tapi, mana bisa aku tak tunduk pada apa yang kamu punya?
Setiap kau mulai berbicara aku akan tersihir mendengarkan. Kau memang punya segudang pengetahuan yang tak henti-hentinya mengundang decak kagum. Kau lontarkan beragam teori yang sebelumnya tak kupahami, membuatku bertambah wawasan secara cuma-cuma. Sepertinya aku bisa bertanya apa saja tanpa mengundang tatap menghakimi. Membuatku nyaman dan merasa kamulah yang selalu mengerti.
- Aku yang sebelumnya terlalu malu, kini memberanikan diri untuk menyampaikan rasa. “Maukah kamu merajut cerita bersama?”
Aku terlalu malu untuk melontarkannya padamu. Lidah ini selalu saja kelu dan tak mampu melontarkan frasa dengan benar. Padahal aku selalu ingin menanyakan kesediaanmu mengisi hari-hariku yang selanjutnya. Untuk melengkapi ruang kosong yang ada di sela-sela jariku dan dengan mantap menjajari langkah kakiku.
Atau kemudian menarikku ke dalam pelukanmu dan mendaratkan kecupan singkat di dahiku. Ya, aku ingin kamu ada di sana, menjadi milikku seutuhnya dan menjadi pelontar di saat aku sedang berada di titik terendah kehidupan.
Sudah kuputuskan. Senja ini, kubulatkan tekadku untuk melontarkan frasa sederhana ini padamu.
0 komentar:
Post a Comment