Monday, June 14, 2010

Nestapa dari Kilau Emas




BOMBANA


Aktivitas penambangan emas di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, dua tahun terakhir telah menjungkirbalikkan kehidupan daerah transmigrasi di pesisir selatan Sulawesi ini. Roda ekonomi berputar cepat, ditandai dengan peredaran uang jutaan rupiah dari penjualan emas.

Di sisi lain, para petani mulai merasakan dampak buruk aktivitas penambangan emas. Bagi mereka, emas seperti kutukan. Saluran irigasi Bendung Langkowala yang bertahun-tahun memasok air ke sawah belakangan dibelokkan penambang untuk keperluan pendulangan.Image and video hosting by TinyPic



Setidaknya hal itu yang kini dirasakan Asdar (34), petani di Desa Lantari, Kecamatan Lantari Jaya, Kabupaten Bombana. Saat ditemui hari Jumat (12/2), dia bersiap membajak sawah dengan traktor melintasi hamparan rumput berpetak-petak.

Dulu lahan seluas 1 hektar itu rutin ditanami padi dua kali setahun. Kini, musim tanam tinggal sekali setahun, itu pun mengandalkan pompa air tanah.

Dinas Pertanian Kabupaten Bombana kesulitan menjamin distribusi air bagi sekitar 300 petani di Lantari Jaya. Untuk mengairi sawah seluas 20 hektar, petani perlu membuat sumur bor dengan biaya Rp 3 juta.

”Kalau tidak ada penambangan emas, mungkin tidak begini jadinya,” kata Asdar, keturunan transmigran asal Jawa Barat.

Kecamatan Lantari Jaya dulu dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Bombana. Dengan luas sawah 2.500 hektar lebih, Lantari Jaya memproduksi padi 11.500 ton per tahun. Setiap hektar sawah dapat menghasilkan gabah 8 ton dengan keuntungan Rp 8 juta. Kini produksi berkurang setengahnya.

Kini Lantari Jaya bukan lagi sentra produksi beras di Bombana.

Penambangan masif

Penemuan emas di Bombana tahun 2008 telah mengundang ribuan pendatang dari sejumlah daerah, seperti Jawa, Kalimantan, dan Papua, ke Bombana. Penambangan dilakukan secara masif. Pemerintah Kabupaten Bombana menaksir kandungan emas di wilayahnya 165.000 ton.

Pada permulaan demam emas di Bombana, setiap penambang bisa mendapatkan sedikitnya 3 gram emas. Setiap hari mereka pulang dengan mengantongi uang Rp 4 juta.

Kilauan emas juga menyilaukan mata transmigran setempat. Tidak sedikit yang meninggalkan pertanian, banting setir untuk mendulang emas. Harga ikan di Bombana pernah melonjak 10 kali lipat karena nelayan mencari emas.

Minimnya pengalaman para penambang tradisional tak jarang menyebabkan kecelakaan yang makan korban jiwa. ”Nyaris tiap minggu kami mendengar raungan sirene ambulans karena ada korban jiwa di areal penambangan,” kata Sardi (25).

Belakangan, demam emas di Bombana mereda. Banyak penambang emas kembali ke daerah asal karena hasil yang didapat tidak lagi sebanyak dulu. Selain itu, pemkab memberikan izin pertambangan bagi perusahaan sehingga penambang tradisional tidak leluasa mencari emas.

Bombana kini sarat dengan pemandangan tandus, jalan rusak, serta rumah transmigran yang berdinding kayu dan berlantai tanah. Kalaupun ada yang berkembang, hanya toko yang menjual kebutuhan pertambangan atau warung makan.

Rustam (56), warga setempat, mengeluhkan, Bombana kini menjadi daerah tidak aman. Perampokan merajalela.

Menurut dosen Antropologi dari Universitas Haluoleo, Waode Winesty, bila masyarakat gagap menghadapi perubahan sosial yang sangat cepat, mereka kemudian bisa terpinggirkan dan hanya menjadi penonton. Bila tidak segera diantisipasi pemerintah, bukan tidak mungkin hal ini akan menjadi permasalahan pada masa mendatang. (Didit Putra Erlangga Rahardjo, Kompas, 15/2)

------------

Apakah di setiap lokasi pertambangan batubara, intan, minyak bumi, gas alam, perak timah, tembaga dan sebagainya di berbagai penjuru tanah air Indonesia juga selalu terjadi efek gegar ekonomi dan ekologi? Kemudian akhirnya membuat mereka hidup nestapa, menderita, demikian pula generasi penerusnya nanti. Semoga tidaklah demikian ke depan.

Tetapi oleh desakan ekonomi, naluri manusia bisa jadi ibarat seperti semut – yang hanya berburu manisnya gula, tanpa memikirkan bagaimana memelihara kehidupan lingkungan, melestarikan, apalagi memproduksi produksi kembali gula tersebut bagi generasi ke depan. Bahkan bisa jadi lebih rendah daripada semut, karena semut bisa berdiam dengan cukup menggali liang di permukaan tanah, tetapi manusia tidak hanya diam tinggal di situ, tetapi bahkan menggali cukup dalam dari permukaan tanah, hingga membongkar-bongkar, mengorek isi perut bumi tanpa memikirkan kerusakan lingkungan dan ekologi alam di sekitarnya. Lumpur lapindo bisa jadi contoh ekstrem.

Dan di situlah letak jelas perbedaan tindakan dan praktik kehidupan antara manusia dengan semut, yang ke depan harus segera terus dibenahi.

Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat.

Best Regards,
Anak dari sebrang


0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.